BREAKING NEWS

Paradoks Penguatan Desa: Dikuatkan dalam Filosofi, Dilemahkan dalam Implementasi


Oleh: Hadian Supriatna, S.P.
Kepala Desa Cibiru Wetan, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung


Dalam arah kebijakan pembangunan nasional, desa kini menempati posisi penting sebagai ujung tombak kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat. Filosofi "desa kuat dan mandiri" telah lama digaungkan dalam berbagai regulasi, termasuk Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Namun di lapangan, semangat tersebut belum sepenuhnya terwujud. Desa yang secara filosofi telah "dikuatkan", dalam praktiknya justru sering menghadapi tantangan yang melemahkan. Paradoks ini menjadi kenyataan sehari-hari di banyak desa di Indonesia, termasuk di wilayah Cibiru Wetan.



Kekuatan Filosofis Desa

Secara filosofis dan regulatif, desa memiliki posisi strategis. Undang-Undang Desa menegaskan bahwa desa adalah entitas pemerintahan yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya.

Desa idealnya menjadi ruang bagi mitigasi kesenjangan pembangunan, memperpendek rantai birokrasi, serta menguatkan partisipasi warga.

Dalam konsep tersebut, desa seharusnya kuat dalam tata kelola, pengelolaan potensi lokal, serta pemberdayaan masyarakat. Namun, kekuatan yang diharapkan itu tidak selalu mudah diwujudkan dalam praktik sehari-hari.



Realitas Implementasi yang Melemahkan

Beberapa tantangan di lapangan menunjukkan mengapa idealisme "desa kuat" sering kali melemah dalam implementasi. Di antaranya:

1. Kewenangan desa yang masih terbatas. Banyak keputusan strategis tetap bergantung pada otoritas di atasnya.


2. Kapasitas aparatur desa yang belum merata. Pengelolaan keuangan, perencanaan pembangunan, dan pelibatan masyarakat belum sepenuhnya optimal.


3. Partisipasi masyarakat yang belum sepenuhnya terbangun. Keterlibatan warga sering kali bersifat formal, bukan partisipatif sejak tahap perencanaan.


4. Pengelolaan dana dan potensi lokal yang belum maksimal. Akuntabilitas, transparansi, dan kesesuaian program masih menjadi tantangan.


5. Beban regulasi dan birokrasi yang berat. Prosedur administratif yang panjang sering kali menghambat inovasi di tingkat desa.



Situasi ini memperlihatkan adanya jarak antara apa yang diidealkan secara filosofis dan apa yang terjadi dalam implementasi.



Paradoks yang Muncul

Dari dua sisi tersebut, lahirlah paradoks nyata:

Desa diakui kuat dalam kebijakan, tetapi masih lemah dalam pelaksanaan.

Desa disebut mandiri, tetapi masih sangat bergantung pada sistem top-down.

Potensi lokal besar, tetapi belum dikelola secara maksimal.


Paradoks ini bukan sekadar teori, melainkan realitas yang tampak dalam praktik pemerintahan dan interaksi masyarakat desa.

Untuk mengatasinya, perlu langkah nyata yang memperkuat kapasitas, menyesuaikan regulasi, dan menumbuhkan partisipasi autentik warga desa.



Pandangan Para Pakar

Beberapa pakar memberikan pandangan yang memperkaya pemahaman atas situasi ini:

1. Dr. Hanif Nurkholis, M.Sc. menilai bahwa desa tidak dapat diperlakukan hanya sebagai objek pembangunan, melainkan sebagai komunitas yang memiliki sejarah dan tata kelola sosial tersendiri.


2. Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum menyoroti pengelolaan dana desa yang masih dikendalikan secara sentral, yang justru menghambat kemandirian desa.


3. Dr. Endang Turmudi, M.A. menekankan pentingnya relasi sosial dan budaya partisipasi dalam keberhasilan pembangunan di desa.


4. Rian Nugroho mengingatkan agar kebijakan desa tidak menjadikan desa sebagai objek eksperimen dari kebijakan pusat yang tidak sesuai konteks lokal.



Arah dan Rekomendasi

Agar penguatan desa tidak berhenti di atas kertas, beberapa langkah berikut perlu menjadi fokus bersama:

1. Peningkatan kapasitas aparatur desa melalui pelatihan dan penguatan kemampuan perencanaan, keuangan, serta teknologi informasi.


2. Regulasi yang lebih adaptif, agar desa memiliki ruang berinovasi sesuai karakteristik lokal.


3. Partisipasi masyarakat yang lebih autentik, dengan melibatkan warga sejak awal dalam proses perencanaan dan pengawasan pembangunan.


4. Pengelolaan dana desa yang transparan dan akuntabel, didukung sistem monitoring yang terbuka.


5. Penguatan modal sosial dan budaya lokal, agar pembangunan tidak kehilangan jati diri desa itu sendiri.




Penutup

Paradoks antara "desa yang dikuatkan dalam filosofi" dan "dilemahkan dalam implementasi" adalah tantangan nyata bagi seluruh pemangku kepentingan.

Penguatan desa sejati tidak hanya bergantung pada regulasi dan dana, tetapi pada keselarasan antara kebijakan, kapasitas, dan partisipasi masyarakat.

Desa bukan hanya objek pembangunan, melainkan subjek yang memiliki potensi, tanggung jawab, dan masa depan. Kini saatnya tidak hanya berbicara tentang desa yang kuat, tetapi mewujudkan kekuatan itu dalam langkah nyata di lapangan.



Catatan Redaksi:
Tulisan ini merupakan opini dan refleksi yang dikirim oleh pembaca ke redaksi inet99.id. Isi dan pandangan merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi berhak melakukan penyuntingan ringan tanpa mengubah substansi naskah untuk kepentingan tata bahasa dan keterbacaan publik.
Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar

Terkini