Omoh, Pengrajin Boboko Asal Trajaya Majalengka yang Setia Menganyam Tradisi di Usia 62 Tahun
![]() |
Poto Boboko asal Trajaya Majalengka, Doc.Istimewa |
MAJALENGKA, INET99.ID – Di Desa Trajaya, Kecamatan Palasah, Kabupaten Majalengka, hidup seorang pengrajin bambu bernama Omoh. Di usianya yang ke-62, ia masih setia menekuni kerajinan anyaman bambu yang dikenal sebagai boboko, sebuah wadah tradisional yang masih digunakan masyarakat Sunda dalam aktivitas sehari-hari.
Boboko bukan sekadar wadah biasa. Terbuat dari bilah-bilah bambu yang dianyam secara manual, boboko merepresentasikan nilai-nilai kesederhanaan, ketekunan, dan kearifan lokal. Di tengah arus modernisasi dan gempuran produk-produk plastik, eksistensi boboko perlahan terpinggirkan. Namun tidak bagi Omoh. Baginya, menganyam bukan hanya pekerjaan, melainkan warisan leluhur yang harus dijaga.
“Saya sudah biasa bikin boboko sejak kecil. Awalnya cuma bantu-bantu orang tua. Lama-lama jadi bisa sendiri. Sekarang mah sudah jadi kebiasaan,” kata Omoh saat ditemui di rumahnya yang sederhana namun penuh dengan anyaman bambu.
Setiap hari, Omoh duduk di serambi rumah, meraut bambu, menyusunnya menjadi anyaman, lalu membentuknya menjadi boboko. Dalam sehari, ia bisa menghasilkan 5 hingga 10 boboko ukuran kecil. Harganya berkisar antara Rp10.000 hingga Rp50.000, tergantung ukuran dan tingkat kerumitan. Dari penghasilan itulah ia menghidupi keluarganya.
Proses pembuatan boboko dimulai dari pemilihan bambu yang kuat dan lentur. Setelah itu, bambu dipotong, diraut, dan dibelah menjadi bilah-bilah halus. Bilah ini kemudian dianyam membentuk pola dasar, lalu dinaikkan perlahan hingga membentuk sisi vertikal seperti kerucut atau tabung. Proses ini membutuhkan kesabaran dan ketelitian tinggi.
“Kalau salah satu bilah miring atau terlalu renggang, bentuknya jadi jelek. Harus sabar,” ujar Omoh.
Meski usianya tak muda lagi, semangat Omoh tak pernah padam. Ia percaya bahwa selama ada yang membutuhkan boboko, kerajinan ini akan tetap hidup. Bahkan, ia berharap anak-anak muda di desanya mau belajar agar warisan budaya ini tidak punah.
Di Desa Trajaya, kerajinan bambu memang masih cukup hidup. Beberapa rumah tangga lain juga membuat boboko, tampir, dan barang-barang serupa. Aktivitas ini biasanya dilakukan sambil bersosialisasi, menjadi bagian dari kehidupan komunitas yang erat.
“Kadang sore-sore kita duduk bareng sambil anyam. Ngobrol, saling bantu. Jadi bukan cuma kerja, tapi juga silaturahmi,” tutur Omoh.
Namun, tantangan tetap ada. Produk-produk dari plastik yang lebih murah dan tahan lama menjadi pesaing utama boboko. Selain itu, generasi muda yang lebih tertarik pada pekerjaan modern cenderung meninggalkan kerajinan ini.
Meski begitu, Omoh tidak menyerah. Ia terus memproduksi boboko dan menjualnya di pasar tradisional maupun ke pemesan dari luar daerah. Beberapa pengunjung desa pun kerap tertarik membeli boboko sebagai suvenir atau peralatan rumah tangga bernuansa etnik.
“Kalau ada tamu dari kota, kadang mereka beli banyak. Katanya buat pajangan atau tempat buah. Ada juga yang minta ukuran khusus,” katanya.
Ke depan, Omoh berharap ada lebih banyak kesempatan untuk mengenalkan boboko ke masyarakat luas. Baik melalui pameran, kerja sama dengan toko oleh-oleh, atau promosi digital. Baginya, boboko bukan hanya simbol budaya, tapi juga sumber ekonomi yang menjanjikan.
“Asal ada kemauan dan dukungan, boboko bisa jadi produk yang dibanggakan,” ujarnya optimis.
Cerita Omoh adalah potret kegigihan seorang pelestari budaya. Di tengah tantangan zaman, ia memilih bertahan dengan bambu dan tangan terampilnya. Karena baginya, setiap helai bilah bambu yang dianyam adalah bentuk cinta pada warisan tanah kelahirannya.
REd.