Jalan Pintas Konten Penghinaan Suku Sunda, Andi : Minim Kualitas, Kejar Viral Instan, Diduga Strategi Murahan Kejar Subscriber
0 menit baca
Maraknya konten yang dinilai menghina suku Sunda di media sosial kembali memantik kemarahan publik. Menurut dugaan penulis, tindakan tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan dengan upaya sebagian kreator mengejar popularitas instan melalui peningkatan subscriber dan follower.
Dugaan itu menguat karena pola yang berulang. Konten bermuatan provokasi diunggah, publik bereaksi keras, lalu popularitas akun melonjak signifikan dalam waktu singkat.
Menurut pengamatan penulis, kreator yang melakukan hal ini umumnya tidak memiliki kualitas ngonten yang baik. Minim ide, miskin kreativitas, dan tidak menawarkan nilai edukatif membuat mereka kesulitan berkembang secara organik.
Dalam kondisi tersebut, jalan pintas diduga dipilih. Penghinaan terhadap suku atau ras tertentu dijadikan alat pemicu emosi demi menarik perhatian luas.
Kasus yang menyeret nama Resbob menjadi contoh terbaru. Namun menurut penulis, fenomena serupa telah berulang jauh sebelum itu dengan pelaku yang berbeda.
Beberapa kreator lain juga sempat menuai kecaman publik akibat konten yang dianggap merendahkan martabat suku Sunda. Ada yang hanya berujung permintaan maaf, ada pula yang sampai berhadapan dengan proses hukum.
Meski penyelesaian berbeda, menurut dugaan penulis, manfaat awal tetap diraih: eksposur masif dan lonjakan interaksi.
Hal inilah yang menjadi kekhawatiran serius. Konten dengan kualitas rendah justru mendapat panggung besar karena dibungkus kontroversi.
Suku Sunda kerap dijadikan sasaran dengan dalih candaan. Padahal, stereotip dan narasi merendahkan tersebut berpotensi melukai identitas kolektif.
Dugaan penulis, besarnya jumlah penduduk Jawa Barat dimanfaatkan sebagai peluang viral. Semakin besar kelompok yang tersinggung, semakin tinggi potensi ledakan reaksi.
Emosi publik kemudian diolah menjadi komoditas digital. Algoritma membaca kemarahan sebagai keterlibatan, bukan sebagai pelanggaran etika.
Dalam situasi ini, batas antara humor dan penghinaan menjadi kabur. Kreator yang kekurangan kualitas memanfaatkan celah tersebut.
Setelah viral, permintaan maaf disampaikan. Namun menurut penulis, permintaan maaf sering muncul setelah tujuan tercapai, bukan sebagai bentuk kesadaran sejak awal.
Pertanyaan mendasar pun muncul: apakah permintaan maaf cukup untuk menghentikan pola ini?
Di sisi lain, pemenjaraan semata juga belum tentu menyelesaikan persoalan secara menyeluruh. Tanpa perubahan ekosistem digital, pelaku serupa akan terus bermunculan.
Tokoh masyarakat Sunda berulang kali menegaskan bahwa kesantunan bukan kelemahan. Namun nilai ini justru kerap disalahgunakan oleh pemburu sensasi.
Menurut dugaan penulis, selama kualitas konten tidak menjadi ukuran utama, kontroversi akan terus dipakai sebagai alat instan.
Ke depan, penulis berharap ada efek jera yang lebih relevan. Bukan hanya sanksi hukum, tetapi juga sanksi digital yang berdampak langsung.
Penulis juga mengajak masyarakat untuk berperan aktif. Mulai sekarang, siapapun yang menghina suku atau ras tertentu demi menaikkan popularitas dan subscriber, sudah semestinya dilaporkan secara bersama-sama.
Pelaporan massal dinilai penting agar platform seperti YouTube dan media sosial lainnya mengambil tindakan tegas, termasuk pemblokiran akun.
Langkah ini bukan bentuk pembungkaman, melainkan upaya menjaga ruang digital tetap sehat dan beradab.
Kreativitas sejati tidak lahir dari menghina identitas orang lain. Suku Sunda, maupun suku lainnya, bukan alat mendongkrak popularitas.
Menurut penulis, jika langkah kolektif ini dilakukan secara konsisten, maka ruang bagi konten murahan dan penuh penghinaan akan semakin sempit.
Sudah saatnya media sosial diisi oleh karya berkualitas, bukan sensasi yang merusak martabat dan persatuan bangsa.***
